Minggu, 05 Juni 2011

Ulasan Karya Sastra-Roman oleh Sugeng Rianto


                             Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
    karya HAMKA
                                                                 CINTA SUCI TERBAWA MATI

                                                                    Ulasan  : SUGENG RIANTO

Karya sastra bukanlah sekadar buah keringat fiksional yang mampu menyulap fakta menjadi karya fiksi, akan tetapi bisa merupakan potret kesaksian atas rentetan peristiwa yang melatar belakangi zamannya. Sebuah karya sastra mampu merekam situasi kondisi sosial pada zamannya, kemudian mencoba memaknai bagi kehidupan dari segala sisinya sebagai isyarat yang bisa jadi masih relevan untuk menjadi kajian sekian kurun mendatang. Dalam hal ini, sastra sering diperlakukan sebagai refleksi dan ramalan perkembangan dan tanda-tanda yang masih bakal terjadi di masa mendatang. Sedangkan prediksi ke depan tepat atau tidak, sastrawan  menganggap tidaklah penting. Ia hanya bertugas mengisyaratkan tentang fenomena realitas yang bisa dirangkum lewat gubahan wacana tulis, sebagaimana tugas kenabian yang mutlak hanya pengemban amanat Ilahiat.
            Dalam usia 31 tahun, di mana darah muda mengalir bergelora dan daya khayal serta rasa sentimennya masih tinggi, HAMKA telah berhasil merampungkan karya sastra roman berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang diselesaikannya tahun 1938. Juga masih menyoal kukuh kokohnya belenggu adat yang memporak-porandakan hubungan percintaan kasih dua muda-mudi, yang cinta sucinya terbawa sampai mati. Penuh nasehat dan pesan moral sebagaimana alam kehidupan sastra saat itu, namun sarat dengan muatan idealisme yang secara simbolik bisa dimaknai dengan banyak penafsiran, termasuk pilihan judul.
Sebagai karya yang menorehkan tinta emas sejarah perkembangan sastra Indonesia, pada era Angkatan Pujangga Baru, dan merupakan karya roman maestro keduanya setelah sebelumnya Di Bawah Lindungan Ka’bah, maka Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai karya fiksi yang amat menarik untuk dinikmati. Bahasanya menyentuh, setiap pembaca yang peka pasti berlinang air mata haru mengikuti jalinan alur cerita yang runtut, tidak berbelit-belit serta mudah dipahami. Dilatarbelakangi dengan peraturan adat yang masih dipegang teguh, dalam suatu negeri yang bersuku berlembaga, berkait kerabat dan berninik mamak, dan  menganggap bahwa adat Minangkabau adalah warisan pusaka leluhur yang paling tinggi dibandingkan negeri lain seperti Mengkasar.
Gubahan ceritanya sangat menarik dan mengungkapkan tema yang senantiasa relevan dikaji setiap jaman. Dijalin dengan gubahan bahasa sastra yang indah penuh nasehat, falsafah adat dan pesan moral agama Islam yang menjadi landasan budaya Minangkabau. Walaupun iklim kehidupan golongan beragama masih menganggap bahwa mengarang roman menyalahi kebiasaan umum yang lazim pada waktu itu. Kenyataan  pada awalnya selama 10 tahun setelah roman ini diterbitkan, pengarangnya menghadapi banyak tantangan keras. Namun juga tidak sedikit dari kalangan yang bersimpati terhadap kesenian dan perlunya keindahan dalam hidup manusia, mereka sampai mengatakan seakan-akan si pengarang menceritakan nasibku sendiri. Bahkan ada pula yang berkata, barangkali riwayat si pengarang sendiri yang diceriterakan.

ULASAN KARYA SASTRA : ROMAN
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
KARYA : HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amarullah)

Pengantar :
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah salah satu karya sastra roman dari sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang diterbitkan pertama kali pada tahu 1939 oleh Penerbit Bulan Bintang.

Tema Cerita : Mengungkapkan masalah adat yang berlaku di Minangkabau, masalah kegigihan dan masalah harta dunia yang menghalangi hubungan cinta kasih sepasang muda-mudi serta keuletan si pemuda perantauan yang demi memegang teguh prisnsip sehingga mengantarkannya menjadi orang yang sukses dalam karir tapi tragis dalam percintaan.

Setting Cerita : Daerah Minangkabau, Padang Panjang, Mengkasar, Jakarta, dan Surabaya.

Penokohan dan Karakternya :
1.      Zainuddin; seorang pemuda berbudi luhur yang dilahirkan dari pasangan Melayu Padang dengan Mengkasar, memiliki sifat yang teguh dan istiqomah dalam memegang prinsip hidup. Sebagai tokoh sentral dan tokoh utama dalam roman ini.
2.      Hayati; seorang gadis lugu yang berbudi luhur, taat terhadap aturan adat yang mengekangnya  sehingga mengorbankan nasib cintanya. Sebagai tokoh utama yang menjadi kekasih Zainuddin secara batiniah tetapi menikah dengan Aziz.
3.      Khadijah; sahabat karib Hayati. Ia adalah adik kandung Aziz. Memiliki gaya hidup modern serta ikut berperan memisahkan percintaan Hayati dengan Zainuddin.
4.      Azis; seorang pemuda yang memiliki latar belakang perilaku  yang buruk, suka bergaya hidup mewah. Ia menjadi suami Hayati. Sebagai tokoh pembantu antagonis.
5.      Muluk; mantan “Parewa”/berandalan yang bertobat dan menjadi sahabat kental Zainuddin yang memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi.
6.      Mak Base; seorang saudagar kaya yang baik hati di Mengkasar, yang menjadi orang tua angkat Zainuddin. Seorang yang memiliki sifat bisa menjaga amanah. Sebagi tokoh pembantu protagonis.
7.      Pendekar Sutan; seorang saudagar kaya yang dihormati di Batipuh, dan sebagai ayah kandung Zainuddin. Perjalanan nasib mengantarkannya menjalani kehidupan sebagai orang buangan hingga meninggalnya. Sebagai tokoh pembantu protagonis.
8.      Daeng Habibah; seorang wanita berasal dari Mengkasar dan sebagai ibu kandung Zainuddin. Sebagai tokoh pembantu dalam peran tritagonis.
9.      Datuk Mentari Labih; mamaknya Pendekar Sutan yang sangat serakah. Sebagai tokoh pembantu dalam peran antagonis.
10.  Engku Dt. ………….; mamaknya Hayati yang pongah dan kolot memegang tradisi Mingkabau, sehingga memisahkan hubungan cinta kasih dua sejoli Zainuddin dengan Hayati. Sebagai tokoh pembantu dengan peran antagonis.

Ringkasan Cerita :
Zainuddin berhasil kembali ke kampung halaman almarhum ayahandanya, yakni Pendekar Sutan, setelah mendapat izin dari Mak Base, orang tua angkatnya. Zainuddin terlahir dan tinggal di Mengkasar setelah ayah kandungnya terusir dari Batipuh, Padang Panjang, Minangkabau, karena membunuh Datuk Mantari Labih, sehingga harus menjalani hukuman buang selama 15 tahun  di Mengkasar. Usai masa hukumannya, Pendekar Sutan beristri Daeng Habibah yang asli Mengkasar, kemidian lahirlah putra tunggalnya yakni Zainuddin. Setelah ayahnya meninggal dunia, disusul kemudian ibunya, zainuddin diangkat anak oleh Mak Base yang baik hati itu.
Ketidakadilan yang menimpa ayahnya akibat adat istiadat yang membelenggu di daerahnya juga dirasakan oleh pemuda itu. Zainuddin yang bukan orang Padang asli –karena ibunya bukan kelahiran Batipuh- harus mendapatkan tantangan besar dalam menjalin hubungan cintanya dengan Hayati, gadis desa yang lugu dan polos. Selain itu, juga karena Zainuddin adalah anak yatim piatu. Namun demikian, hubungan cinta kasih keduanya tetap berjalan secara sembunyi-sembunyi dengan cara berkirim surat.
Suatu hari, setelah hubungan mereka dipisahkan jarak oleh Datuk …, mamak angkatnya atau orang tua angkat Hayati karena ia sejak kecil yatim piatu, sehingga Zainuddin harus pindah ke Padang Panjang, Hayati bermaksud pergi ke Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda dan menginap di rumah sahabat kentalnya, Khadijah. Sebelum berangkat, ia telah mengabarkan kepada Zainuddin, sehingga kedua anak muda itu bisa bertemu dan melepaskan rasa rindu di rumah Khadijah. Namun, pertemuan Hayati dan Zainuddin mendapatkan halangan dari Azis, kakaknya Khadijah yang secara diam-diam jatuh hati kepada hayati.
Puncak persaingan antara Zainuddin dan Azis terjadi ketika kedua pemuda itu sama-sama mengirimkan surat lamaran kepada orang tua Hayati. Dari lamaran kedua pemuda itu, ternyata pinangan Azis yang diterima karena orang tua  Hayati mengetahui ia adalah putra Padang asli dan memiliki latar belakang keluarga  yang kaya. Sedangkan Zainuddin ditolak karena mamaknya Hayati tidak ingin anaknya bersuamikan bukan orang padang asli, lagi pula perantauan yang miskin. Mereka tidak mengetahui bahwa Zainuddin baru saja menerima warisan kekayaan dari Mak Base yang telah meninggal dunia.
Penolakan lamaran mengakibatkan Zainuddin jatuh sakit teramat parah, sedangkan Hayati harus menjalani hidup dengan lelaki yang tidak dicintainya sehingga ia merasa tertekan jiwanya. Apalagi Azis memiliki perangai yang buruk sehingga kehidupan rumah tangga wanita itu tidak bahagia.
Bukti cinta Zainuddin terhadap hayati masih kukuh, adalah di saat puncak sakitnya, oleh sahabat karib Zainuddin, Muluk yang mengatur pertemuan sehingga Hayati bisa menjenguk Zainuddin. Setidaknya, di akhir usia Zainuddin, Muluk bisa mengobati walau hanya sebatas penawar penderitaan batin sahabatnya.
Setelah berangsur-angsur sembuh, dan mengikuti saran Muluk agar melupakan Hayati serta agar mencurahkan perhatiannya untuk memupuk bakat kepengarangannya, Zainuddin pun pindah ke Jakarta disertai sahabat setianya, Muluk. Di Ibukota, ia berhasil menjadi penulis yang produktif sehingga namanya mulai dikenal banyak orang. Kemudian, ia pindah ke kota pahlawan, Surabaya dan tetap menulis bahkan memimpin usaha penerbitan yang semakin menjulang. Ia bahkan dikenal sebagai penulis yang kaya dan dermawan. Sementara itu, Azis juga dipindahkan ke Surabaya oleh atasannya atas kemerosotan pekerjaanya, disertai Hayati. Sehingga kepindahan ini mempertemukan Hayati dengan Zainuddin, kekasihnya yang masih amat mencintainya.
Ketika Azis dipecat dari pekerjaannya karena kecerobohan dan kelalaian dalam menjalankan roda perusahaan, ia bersama Hayati terpaksa tinggal di rumah Zainuddin. Namun, Azis justru merasa hina tinggal di rumah Zainuddin karena perlakuan pemuda sukses itu teramat sangat baik terhadap keluarganya Azis lalu memutuskan untuk meninggalkan Hayati di rumah Zainuddin dan pergi mencoba usaha pekerjaan di Banyuwangi.
Namun tak berapa lama kemudian, Azis mengirimkan dua pusuk surat, pertama  kepada Hayati, istrinya yang isinya hendak menceraikannya serta merelakan bila Hayati diperistri Zainuddin demi membalas hutang budi, dan surat kedua ditujukan kepada Zainuddin yang berisi permintaan agar Zainuddin bersedia menikahi Hayati. Ternyata, surat itu merupakan pesan terakhirnya karena tak lama kemudian Azis diberitakan mati bunuh diri di dalam kamar penginapan di Malang.
Sekalipun dalam hati masih mencintai Hayati, Zainuddin menolak permintaan wasiat Azis karena perasaan dendam dan kekecewaannya terhadap orang tua Hayati yang dulu telah menolak lamarannya. Ia bahkan menyuruh Hayati untuk pulang ke kampung halamannya di Padang dan mengongkosi seluruh beaya perjalanan. Hal itu membuat hati Hayati merasa hancur, walau sebenarnya Zainuddin sendiri merasa tidak tega bahkan juga sedang menghadapi pertarungan batin antara cinta suci  terpendamnya melawan kekecewaannya terhadap keluarga Hayati. Akhirnya, keesokan harinya, Hayati dengan sayu menuju pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dengan diantar oleh Zainuddin yang melepasnya di dalam kapal Van Der Wijck yang akan membawanya ke Sumatera.
Tak lama setelah melepas kepergian Hayati, hati Zainuddin merasa gundah gulana karena bagaimanapun dorongan perasaan cintanya kepada Hayati lebih kuat daripada kekecewaannya. Ia segera bergegas menyusul Hayati di pelabuhan, namun kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati telah berangkat. Lelaki itu merasa sedih dan sangat menyesali tindakannya.
 Zainuddin semakin sedih lagi ketika  mendapat siaran warta berita bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam di perairan dekat Lamongan, sesaat setelah lepas jangkar dari Surabaya. Banyak korban tewas dan luka berat, yang ditampung di rumah-rumah penduduk dan sebagian dilarikan ke  rumah sakit Lamongan. Bersama Muluk, sahabatnya yang setia menemaninya, ia langsung meluncur ke Lamongan, berlomba dengan waktu ingin segera mengetahui kondisi Hayati. Sesampainya di rumah sakit, ia mendapatkan Hayati tengah mendapat perawatan medis dan berbaring tak berdaya. Ia pun memeluk Hayati dan menyatakan penyesalannya. Rupanya pertemuan dua insan ini adalah pertemuan yang terakhir karena Hayati tak lama kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan Zainuddin.
Tak jua dayung dikayuh, maka tak satupun jua pulau terlampaui. Kejadian ini membuat Zainuddin merasa terpukul batinnya, dan merasakan penyesalan yang berkepanjangan hingga jatuh sakit yang mengantarkan kepergiannya meninggalkan alam fana ini. Ia dimakamkan bersebalahan dengan pusara Hayati di Surabaya.

Ulasan Makna Pesan Pengarang :
            Dengan gaya bahasa yang menggelitik nurani, penuh sentuhan gubahan untaian kata, dengan larik kalimat kaya makna,  Hamka lewat Zainuddin seakan mencoba mendobrak kekolotan adat istiadat Minangkabau,  yang masih kukuh memegang tradisi.

                                                    s--kudedikasikan untuk anak negeri--r


Tidak ada komentar:

Posting Komentar