PUTRI TERUNG
RADEN AYU PUTRI SUNDARI CEMPOKOWATI
(RADEN AYU PUTRI PECATTONDO TERUNG)
Dirangkum oleh
Sugeng Rianto, S.Pd
A. LEGENDA
TUTUR TINULAR TERUNG PECATTONDO
Disusun oleh W. Soekaryadi Kertoatmodjo
dari Bpk. Muslimin Kertodiwongso dari Mbah Tasim Hadiwijaya dari Buyut Tasirah
dari Canggah Duplong, masing-masing mantan Lurah/Kepala Desa Terung Kec. Krian,
Kab. Sidoarjo. Publikasi untuk kalangan terbatas.
a.
Prabu Brawijaya V (Prabu Kertobumi)-Raja
Majapahit memiliki putra dari garwo selir, putra laki-laki diberi nama Raden
Haryo Damar (R. Aryo Damar), yang setelah dewasa dan karena kesaktiannya bisa
menumpas bajak laut di Selat Malaka (wilayah kekuasaan Majapahit) atas perintah
ayahandanya yakni Brawijaya V, maka R. Aryo Damar diberi kekuasaan menjadi
Adipati (Bupati) Palembang.
b.
Prabu Brawijaya V juga menikahi Putri
Campa (Putri Cempo)-negeri Campa/Kamboja,
bernama Putri Dwiworowati atau putri Dwarawati. Di saat hamil 3 bulan,
karena hasutan garwo selir yanglain, maka putri Cempo diungsikan ke Palembang
dititipkan ke Aryo Damar hingga melahirkan putra yang diberi nama Raden Patah.
Secara hirarki keturunan, maka R. Aryo Damar adalah kakaknya R. Patah sesama
satu ayah yakni Brawijaya V.
c.
Saat R. Patah berusia 7 tahun, Prabu
Brawijaya V “tilik sambang” ke Palembang sekaligus menghadiahkan permaisuri
putri Dwarawati kepada R. Aryo Damar agar menikahi putri Cempo. Sabdo Pendito
Ratu, R. Aryo Damar “sendiko dawuh” menerima, lalu Prabu Brawijaya V berpisah
di satu tempat dekat Palembang yang kemudian tempat tersebut diberi nama
Prabumulih (Sang Prabu mulih/pulang kembali ke Majapahit). Selanjutnya, Raden
Aryo Damar bersama putri Cempo memiliki putra yang diberi nama Raden Kusen.
Secara hirarki keturunan, maka Raden Kusen adalah adik dari Raden Patah (sesama
ibu lain ayah).
d.
Saat usia remaja, Raden Patah dan Raden
Kusen dipanggil menghadap Prabu Brawijaya V agar keduanya belajar/berguru ke
Kotaraja Majapahit. Raden Kusen bersedia dan menjadi asuhan Prabu Brawijaya V,
sedangkan Raden Patah menolak lalu belajar mendalami agama Islam yang mulai
berkembang saat itu dan berguru kepada Raden Rahmattullah yaitu Sunan Ampel di
Ngampeldento. Ngampel dari kata “ngampil” adalah tempat pinjaman dari Prabu Brawijaya V kepada
R. Rahmat untuk mendirikan pesantren-padepokan pengajaran agama Islam yang
kemudian berkembang sebagai wilayah di Surabaya.
e.
Setelah dewasa, Raden Patah ditugaskan
oleh R. Rahmat agar berdakwah kearah barat hingga menemukan daerah di tengah
hutan Bintoro yang memiliki glagah (bunga tebu) yang berbau wangi, nama
tersebut akhirnya dijuluki Glagahwangi. Tempat ini oleh para wali (Wali
Songo)-tokoh penyebar agama Islam di Tanah Jawa- kemudian menjadi pusat
pemerintahan kesultanan Islam yang pertama yaitu Demak Bintoro dengan Raden
Patah sebagai Sultan Demak I. Saat yang bersamaan, Kotaraja Majapahit tengah
berkecamuk perebutan kekuasaan antara Brawijaya V menghadapi Minakjinggo (adipati
Wirobhumi) dari Blambangan (pemberontakan yang bisa ditumpas oleh Damarwulan
(suami Ratu Kusuma Wardhani putri Raja Hayam Wuruk). Juga dari serangan
Kerajaan Kediri dipimpin Prabu Girindra Wardhana.
f.
Sedangkan perjalanan Raden Kusen di
Kotaraja Majapahit, ia langsung digembleng oleh eyangnya yaitu Prabu Brawijaya
V. karena ketekunan dan kepiawaian olah tanding, maka Raden Kusen kemudian
diangkat sebagai Adipati TERUNG (satu wilayah yang sekarang menjadi desa Terung
kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo, dan tahun 1927 semasa pemerintahan
colonial Belanda, Desa Terung dipecah menjadi Desa Terung Wetan dan Desa Terung
Kulon. Perkiraan penelitian sejarah, lokasi Kraton Kadipaten Terung berada di
baratnya Monumen Garuda pertigaan Desa Terung Wetan. Sebelah utaranya pertigaan
Monumen Garuda, diyakini masyarakat sekitar sebagai Pasar Kembang-tempat
berjualan bunga yang menjadi inti dari Tutur Tinular tentang Putri Terung ini.
g.
Akibat Perang Paregreg (perang saudara)
antara Majapahit dengan wilayah kekuasaan yang memberontak yaitu Kadipaten
Blambangan pimpinan Minakjinggo, hal ini melemahkan situasi Kotaraja Majapahit
sehingga Raja Kediri yaitu Prabu Girindra
Wardhana dengan mudah merebut tahta kekuasaan Majapahit. Brawijaya V melarikan
diri dan mendalami jati diri mendalami keyakinan Islam yang secara diam-diam
telah dipeluknya, kemudian dengan para abdi setianya mengasingkan diri ke
puncak Gunung Lawu hingga wafat (konon dianggap “muksa”/menghilang di puncak
Lawu dan dijuluki Sunan Lawu/Hargo Dumillah/Argo Lawu, abdi setianya di
makamkan sedikit di bawahnya di tempat yang disebut Argo Dalem.
h.
Pasukan Demak Bintoro berniat menyerbu
Majapahit yang telah dikuasai Girindra Wardhana dengan mengutus Sunan Ngudung
(ayahandanya Sunan Kudus) yaitu senopati perang Kasultanan Demak. Karena
loyalitasnya terhadap Majapahit, Raden Kusen (bergelar Raden Husain Hadipati
Terung Pecattondo) yang menghadapi serbuan tersebut dan akhirnya berhasil
membunuh Sunan Ngudung di Kadipaten Terung dengan tombak, sehingga darahnya berceceran
kemudian jasadnya dimakamkan di Troloyo-Trowulan dekat makam Syech Jumadil Qubro.
Sebagian ceceran darah sunan Ngudung berada di sebelah utara Masjid
Baiturrachim (sekarang) di Desa Terung Kulon, berada satu komleks dengan
petilasan/pusaka Raden Kusen yang juga dikebumikan di tempat tersebut yang
hingga kini banyak peziarah saat-saat tertentu.
i.
Walisongo mengetahui senopatinya kalah
oleh kesaktian Raden Kusen, segera memerintahkan Raden Jakfar Shodiq (Sunan
Kudus) putra Sunan Ngudung yang saat itu masih bocah agar mengganti peran
ayahnya yang tewas. Raden Jakfar Shodiq dengan pasukan yang dibantu oleh
kesaktian beberapa wali yaitu Sunan Kalihjaga, Sunan Giri, Sunan Gunungjati,
membuat Raden Kusen berkecil hati kemudian mengibarkan bendera putih tanda
takluk. Mengetahui bahwa Raden Kusen adalah adiknya sendiri, raden Patah sultan
Demak memerintahkan kepada Raden Kusen agar
masuk memeluk agama Islam dan menjalankannya serta tetap melanjutkan memangku
jabatan sebagai Adipati Terung Pecattondo di bawah pemerintahan Demak Bintoro.
B. RADEN
AYU PUTRI SUNDARI CEMPOKOWATI yaitu RADEN AYU PUTRI TERUNG PECATTONDO
a.
Raden Kusen yang bergelar Raden Haryo
Terung Pecattondo memiliki putri bernama Raden Ayu Putri Sundari Cempokowati
yang juga diberi gelar Raden Ayu Putri Terung Pecattondo. Gadis berusia 10
tahun ini memiliki jiwa mandiri dibuktikan dengan kebiasaan berjualan bunga di
pasar. Diyakini oleh masyarakat sekitar bahwa pasar kembang tersebut berlokasi
di sebelah utaranya pertigaan monument Garuda Desa Terung Wetan sekarang.
b.
Suatu ketika, Raden Haryo Terung
Pecattondo (Raden Kusen) diberi tugas agar ke Kadipaten Blambangan oleh
Kesultanan Demak Bintoro untuk mencari pusaka kerajaan yaitu pusaka Dapur
Sangkelat yang hilang dicuri oleh Blambangan. Saat ramandanya berada di Blambangan,
Raden Ayu Putri Sundari Cempokowati tetap berjualan bunga di pasar kembang
Terung (kira-kira di rumah Mbah Matelat, sekarang). Namun sang putri lupa tidak
membawa belati (pangot) untuk mengiris/memotong bunga (daun Pandan).
Kebingungan tidak membawa belati, saat menoleh ke kanan-ke kiri, tiba-tiba
sudah berdiri seorang pemuda tampan (konon diyakini adalah R. Makdum
Ibrahim/Kanjeng Sunan Bonang/putra Sunan Ampel) sepertinya hendak membeli
bunga. RAP Sundari Cempokowati menyapa lebih dulu: “Apakah kisanak membawa pangot/belati? R.
Makdum Ibrohim menjawab: “Betul Raden Ayu, saya membawa pangot”. “Bolehkah saya
meminjamnya untuk memotong daun Pandan ini?”, tanya RAP Sundari Cempokowati
kemudian. Si pemuda menjawab: “Silakan, asalkan pangotnya jangan dipangku
(diletakkan di atas paha saat duduk)”. Di saat asyik dan sibuknya
memotong-motong bunga, RAP Sundari lupa pangot/belati tersebut dipangku dan
secepat kilat secara gaib hilanglah pangot/belati tersebut. Secara bersamaan, saat kebingungan dengan
lenyapnya pangot secara tiba-tiba, RAP Sundari mencari si pemuda yang tiba-tiba
juga telah menghilang.
c.
Selang beberapa bulan, seiring
kedatangan ramandanya yaitu Raden Kusen kembali dari memerangi Prabu Siunglaut
dan patihnya Caluring dari Blambangan atas utusan dari kakandanya yaitu Raden
Patah, RAP hamil dan tampak mulai membesar kehamilannya. Betapa terkejut dan
marahnya Raden Kusen melihat kenyataan kehamilan sang putri secara misterius.
Kendatipun sudah dijelaskan ikhwal kejadian saat berjualan bunga lalu lupa
tidak membawa belati kemudian dipinjami pisau oleh pemuda misterius serta RAP
Sundari sendiri selama ini tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun, sang
Adipati Terung tetap tidak percaya, serta merta demi menahan malu bersumpah
(Sabdo Pandito Ratu) akan menghukum sang putri dengan hukuman yang layak yaitu
membunuhnya dengan pusaka Korowalang. Dalam hati kecil sang Adipati meskipun
berat, namun karena telah “nibakno sabdo”, pendapat garwo adipati sendiri bahwa
sang putrid tetap suci selama ini, tetap sumpah adipati harus dilaksanakan
yaitu hokum bunuh kepada RAP Sundari Cempokowati.
Demi kesetiaan terhadap
prinsip dan ketulusan hati serta kerelaan, juga demi dharma bhakti anak kepada
orang tua, RAP Sundari Cempokowati rela dibunuh dengan permohonan:
a. Hari
eksekusi, sang putri memohon di hari Anggoro Kasih (Selasa Kliwon).
b. Jika
nanti setelah dieksekusi darahnya berbau wangi dan berwarna putih, pertanda
ananda tetap suci dan tidak bersalah.
c. Karena
matinya dengan cara dibunuh ayahandanya sendiri, RAP Sundari Cempokowati
memohon agar jasadnya dibuang saja ke Bengawan Terung.
Konon,
tepat saat eksekusi mati di hari Anggoro Kasih, tiba-tiba darahnya berwarna
putih dan berbau harum (wangi). Betapa terkejut/“getun” dan rasa bersalah yang
luar biasa menghinggapi perasaan Adipati Terung melihat kejadian tersebut, yang
ternyata sebenarnya RAP Sundari Cempokowati memang masih suci meskipun hamil
secara gaib. Maka, demi memenuhi amanat sang putri, jasad RAP Sundari Cempokowati
segera dilempar ke Bengawan Terung, dan ajaibnya air bengawan yang semula deras
mengalir tiba-tiba terhenti seketika kendati dalam sekejap hal itu semakin
membuktikan bahwa RAP Sundari Cempokowati benar-benar tidak bersalah. Tempat
tepat jasad RAP Sundari Cempokowati yang tiba-tiba “gasik”/surut airnya,
kemudian segera diberi batu nisan oleh para kerabatnya sebagai penanda pusara
RAP Sundari Cempokowati. Tempat itulah yang hingga kini sering dikunjungi
peziarah yang mengagumi akan nilai-nilai keluhuran budi yang diwariskan oleh
RAP Sundari Cempokowati.
Setelah
kejadian tersebut, Adipati Terung dijuluki Hadipati Pecattondo Terung. Begitu
pula RAP Sundari Cempokowati diberi julukan Raden Ayu Putri Pecattondo Terung.
Sebutan Pecattondo dimaknai : andaikata kehamilan RAP Sundari Cempokowati
sampai 9 bulan 10 hari sebagaimana lazimnya, kelahirannya berwujud apa? Apakah
ular naga? Pusaka? Atau Jabang bayi? Maka setelah dibunuh sulit ditebak atau
tondonya PECAT/ONCAT/WURUNG. Alhasil juga diberi sebutan Raden Ayu Putri Oncat
Tondo Wurung. Wallahu a’lam bissawab…
---Didedikasikan sebagai upaya pelestarian budaya bangsa---